:::: MENU ::::

Software testing enthusiast.

Photo by Bayu Syaits on Unsplash

Ada sebuah anekdot

Orang Indonesia dan orang India dengan skill dan keterampilan yang sama bekerja di suatu perusahaan rintisan di amerika.

Photo by Jason Goodman on Unsplash

Suatu ketika saat dilakukan sprint planning, product manager bertanya,

“We’ll deal with a big project, this project will bring our company great fortune, who wants to be the lead engineer?”

Kemudian engineer dari India dengan antusias dan penuh percaya diri mengacungkan tangan sambil setengah berteriak,

Photo by Levi Hernández on Unsplash
“I can do this, give me a chance and I will successfully lead our team.”

Dan tahukah kalian apa yang dilakukan software engineer dari Indonesia? dia duduk di kursi terjauh sambil menggerutu,

“Kalau cuma gitu aja aku juga bisa, tapi aku mending diam saja.”
Photo by Kristina Flour on Unsplash

Pertanyaanya,

Kenapa hanya memilih diam?

Kenapa tidak mengajukan diri?

Kenapa tidak menunjukan bahwa dirinya memiliki skill yang bisa diunggulkan?


Photo by CDC on Unsplash

Tahun ini adalah tahun pertama anak kedua saya masuk Taman kanak-kanak. Dan tahukah apa yang dipelajari di hari-hari pertamanya?

Ya betul!! TEPUK DIAM!!

Begini liriknya

Tepuk Diam
Prok 3X Bila aku
Prok3 X Sudah tepuk
Prok 3X maka aku
Prok 3X harus diam
DIAM
One, two, three, four Yes DIAM
Photo by Jackson Simmer on Unsplash

Apakah memang harus begitu? Apakah untuk memperoleh pendidikan harus ditukar dengan kemampuan mengutarakan sesuatu? Padahal nantinya di masyarakat maupun dunia kerja kita dituntut untuk dapat

SPEAK UP

Anak saya juga memiliki kebiasaan menulis nama dirinya dengan membubuhkan tanda “love” di atas huruf “i” sebagai ganti tanda titik. Menurut saya, itu manis sekali dan sangat kreatif.

Photo by Michael Fenton on Unsplash

Suatu hari saya melihat dia menulis nama dengan titik yang normal. Saya pun terheran dan bertanya. “Biasanya kamu nulis pakai tanda love kok sekarang nggak lagi?”. Dan jawabanya adalah,

“Nggak boleh sama bu guru.”
“Kok bisa?”
“Nggak sopan katanya.”
“Ya itu kan di sekolah, kalau nulis di rumah ya gapapa to.”
“Tetep ga boleh.”
“Kan kalau di rumah boleh sama papah.”
“Kan bu guru yang bener.”

Ini bagaimana konsepnya?

Kenapa hal-hal kreatif dilarang?

Misal tidak boleh berkreasi untuk catatan di buku resmi atau tugas, kan bilang aja

“untuk konteks tugas tidak boleh, tapi kalau untuk kreasi boleh”

Mengapa kreativitas anak dihambat?

Mengapa potensi dibatasi justru oleh orang yang seharusnya mendorong anak menuju potensi terbaiknya?

Bagaimana bisa anak saat dewasa nanti dituntut untuk adding value jika sekedar menambahkan keindahan saja dilarang?

Mengapa hanya kreasi yang diajarkan dari sekolah yang diperbolehkan sedangkan yang muncul dari anak dilarang?

Kenapa model pembelajaran seperti ini masih exist bahkan di tahun 2022? Ketika kurikulum merdeka sedang gencar-gencarnya?


Tidak berhenti di situ saja, pembungkaman juga menanti anak-anak setelah mereka nanti beranjak dewasa. Contohnya: saya merasa ragu-ragu apakah aman menulis seperti ini.

Sebuah catatan dari seorang ayah.

0 comments:

Post a Comment

Find this blog interesting? Follow us